Artikel

BERPIKIR REFLEKTIF

by
Rusdin M. Sabing


Pendahuluan
Mengajar matematika di sekolah tidak hanya menyangkut membuat siswa memahami materi matematika yang diajarkan. Namun, terdapat tujuan-tujuan lain misalnya kemampuan-kemampuan yang harus dicapai oleh siswa ataupun ketrampilan serta perilaku tertentu yang harus siswa peroleh setelah ia mempelajari matematika. Pilar utama dalam mempelajari matematika adalah pemecahan masalah. Dalam mempelajari matematika orang harus berpikir agar ia mampu memahami konsep-konsep matematika yang dipelajari serta mampu menggunakan konsep-konsep tersebut secara tepat ketika ia harus mencari jawaban bagi berbagai soal matematika. Soal matematika yang dihadapi seseorang seringkali tidaklah dengan segera dapat dicari solusinya sedangkan ia diharapkan dan dituntut untuk dapat menyelesaikan soal tersebut. Karena itu ia perlu memiliki ketrampilan berpikir agar dengannya ia dapat menemukan cara yang tepat untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Kegiatan atau proses berpikir yang dijalani agar seseorang mampu menyelesaikan suatu soal matematika   mempunyai   keterkaitan dengan kemampuan mengingat, mengenali hubungan diantara konsep-konsep matematika, menyadari adanya hubungan sebab akibat, hubungan analogi ataupun perbedaan, yang kemudian dapat memunculkan gagasan-gagasan original, serta lancar dan luwes dalam pembuatan keputusan atau kesimpulan secara cepat dan tepat. Kegiatan belajar yang menekankan pada proses belajar tentu akan menghadirkan kegiatan berpikir dalam berbagai bentuk dan level. Proses berpikir yang dibangun sejak awal dalam upaya menyelesaikan suatu masalah hendaknya berlangsung secara sengaja dan sampai tuntas. Ketuntasan dalam hal ini dimaksudkan bahwa siswa yang menjalani proses tersebut benar-benar telah berlatih dan memberdayakan dan memfungsikan kemampuannya yang ada sehingga ia memahami serta menguasai apa yang dikerjakannya selama proses itu terjadi. Dengan demikian siswa harus dilatih agar memiliki ketrampilan berpikir matematika. Yang menjadi pertanyaan adalah: sejauh mana, berapa lama dalam suatu pertemuan di kelas siswa telah dilatih dan dikondisikan untuk berpikir dalam pembelajaran matematika? Atau, dengan cara apa, atau bagaimana guru dapat mengajar siswa agar menjadi terampil berpikir secara matematis, tidak hanya ketika siswa berusaha memahami suatu situasi matematika ataupun ketika siswa harus berhadapan dengan masalah yang memerlukan solusi? Dengan kata lain, jika siswa harus dilatih untuk berpikir maka ia harus diperhadapkan pada suatu situasi ataupun masalah yang menantang serta menarik untuk diselesaikan. Karena situasi dan suasana belajar di kelas dipandang sebagai suatu lingkungan yang penuh dengan tantangan ataupun penuh sumber yang dapat dirujuk oleh siswa, maka dari guru diperlukan adanya langkah-langkah ataupun tindakan yang tepat untuk membuat proses pembelajaran matematika ataupun proses menyelesaikan suatu soal matematika di kelas menjadi suatu tempat serta kesempatan dimana siswa dapat meningkatkan kemampuan ataupun ketrampilan berpikirnya. Ada yang berpendapat bahwa aktivitas berpikir ini secara otomatis terjadi dalam setiap pembelajaran matematika di kelas, atau terintegrasi dalam pembelajaran, sehingga ketrampilan berpikir ini harus berlangsung dan merupakan bagian dalam setiap pembelajaran matematika. Namun pertanyaannya  adalah: “sampai sesering apakah dan pada level manakah berpikir itu terjadi?”. Ada juga yang memandang bahwa ketrampilan berpikir matematika itu harus dilatih secara khusus dalam pelajaran terpisah, agar dapat diterapkan ke dalam setiap kegiatan belajar matematika dimana saja, di kelas ataupun di luar kelas. Banyak pendidik matematika yang berpendapat bahwa untuk melatih kemampuan berpikir maka siswa harus dihadapkan pada masalah-masalah yang sifatnya menantang siswa, atau dengan kata lain harus menjadikan siswa sebagai seorang pemecah masalah yang baik. Soal-soal atau permasalahan matematika yang sifatnya menantang itu akan memberikan kesempatan bagi siswa untuk memberdayakan segala kemampuan yang dimilikinya atau menggunakan ketrampilan berpikir tingkat tinggi.  Jika kemampuan berpikir tingkat tinggi ini tidak dilatihkan dan dipoles maka siswa tidak memiliki perangkat yang cukup untuk menjadi seorang problem solver yang baik. Untuk tujuan tersebut, cara pembelajaran matematika secara konvensional yang umumnya menitik beratkan pada soal-soal yang sifatnya drill atau algoritmis serta rutin, tidak banyak kontribusinya dalam meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi tersebut, antara lain karena tidak dilatihkan. Hal inipun dapat dilihat dalam asesmen yang dilakukan terhadap pencapaian siswa, yang lebih banyak mengungkapkan tentang kemampuan menghafal atau menghitung secara algoritmis dan jarang mengenai kemampuan pemecahan masalah siswa.   Oleh karena itu, dalam pembelajaran tersebut hanya kemampuan berpikir yang sifatnya rendah, misalnya mengingat atau ketrampilan   yang   sifatnya   menghafal   fakta   untuk   kemudian mengungkapkannya jika ditanyakan dalam asesmen.

Ketrampilan Berpikir
Keterampilan atau kemampuan berpikir yang paling rendah adalah mengingat, misalnya mengingat fakta-fakta dasar ataupun rumus-rumus matematika. Kemampuan ini yang sejak awal umumnya dilatihkan kepada siswa misalnya mengingat 5 x 5 = 25, 6 + 4 = 10, jumlah ukuran tiga sudut dalam sembarang segitiga adalah 1800 , log ab =   log a + log b, dan sebagainya. Sekalipun berada pada level rendah dalam kemampuan berpikir, namun peranan mengingat tetap penting, antara lain agar mempermudah dan memperlancar seseorang dalam menyelesaikan suatu masalah. Oleh karena itu melatih ketrampilan mengingat pun seyogyanya mendapat perhatian yang proporsional. Kebanyakan siswa pada tahun-tahun pertama mereka dilatih untuk menghafal agar mereka bisa mengingat walaupun tanpa mengerti mengapa harus demikian.
Kemampuan berpikir pada level berikutnya adalah kemampuan emahami atau mengerti    konsep-konsep matematika, demikianpun kemampuan untuk mengenal ataupun menerapkan konsep konsep tersebut dalam mencari penyelesaian terhadap masalah yang dihadapi. Misalnya, dalam mencari panjang sisi siku-siku suatu segitiga siku-siku jika diketahui panjang sisi miring dan sisi siku-siku yang lainnya, siswa tahu bahwa ia dapat menggunakan rumus Pythagoras. Dalam hal ini siswa dapat mengenal bahwa pada situasi mencari penjang sisi-sisi suatu segitiga siku-siku terkandung konsep segitiga siku-siku dengan teorema Pythagoras. Selanjutnya ia dapat menggunakan teorema itu untuk menentukan jawab terhadap pertanyaan tadi.
Dalam praktek, latihan di kelas ataupun asesmen terhadap kemampuan matematika siswa, paling banyak adalah kegiatan dan asesmen tentang kemampuan-kemampuan berpikir ini, yaitu memahami dan mengerti. Pada umumnya bagi para siswa yang senang dan menyadari pentingnya belajar matematika serta manfaat matematika bagi mereka, tentu mereka perlu dibina agar memiliki kemampuan berpikir yang lebih memungkinkan mereka mencapai jenjang pengetahuan yang lebih tinggi. Kemampuan problem solving adalah kemampuan atau kompetensi esensial atau utama dalam mempelajari matematika, yang direkomendasikan untuk dilatihkan serta dimunculkan sejak anak belajar matematika dari Sekolah Dasar sampai seterusnya (NCTM, 2000). Artinya, setiap siswa dalam segala level kemampuan matematika maupun jenjang pendidikan perlu mengalami dan dilatih dalam kemampuan pemecahan masalah. Kemampuan berpikir reflektif dalam matematika yang memuat kemampuan berpikir kritis dan berpikir kreatif sama seperti kemampuan berpikir lainnya, akan berkesempatan dimunculkan dan dikembangkan ketika siswa sedang berada dalam proses yang intens tentang pemecahan masalah. Dengan kata lain, pembelajaran matematika di kelas perlu menyentuh juga aspek pemecahan masalah dan dilakukan secara sengaja dan terencana. Misalnya dalam pemecahan masalah, langkah looking back dari Polya adalah suatu tahap berpikir reflektif, yaitu secara sengaja belajar dari pengalaman, tetapi sering tidak dilakukan secara efektif dan tersulit diperkenalkan pada orang (Masson, 2002).

Berpikir Kritis
Krulik dan Rudnick (NCTM, 1999) mengemukakan bahwa yang termasuk berpikir kritis dalam matematika adalah berpikir yang menguji, mempertanyakan, menghubungkan, mengevaluasi semua aspek yang ada dalam suatu situasi ataupun suatu masalah. Sebagai contoh, ketika seseorang sedang membaca suatu naskah ataupun mendengarkan suatu ungkapan atau penjelasan ia akan berusaha memahami dan coba menemukan atau mendeteksi adanya hal-hal yang istimewa dan yang perlu ataupun yang penting. Demikian juga dari suatu data ataupun informasi ia akan dapat membuat kesimpulan yang tepat dan benar sekaligus melihat adanya kontradiksi ataupun ada tidaknya konsistensi atau kejanggalan dalam informasi itu. Jadi dalam berpikir kritis itu orang menganalisis dan merefleksikan hasil berpikirnya. Tentu diperlukan adanya suatu observasi yang jelas serta aktifitas eksplorasi, dan inkuiri agar terkumpul informasi yang akurat yang membuatnya mudah melihat ada atau tidak ada suatu keteraturan ataupun sesuatu yang mencolok. Singkatnya, seorang yang berpikir kritis selalu akan peka terhadap informasi atau situasi yang sedang dihadapinya, dan cenderung bereaksi terhadap situasi atau informasi itu.
Menurut Ennis (1996), berpikir kritis sesungguhnya adalah suatu proses berpikir yang terjadi pada seseorang serta bertujuan untuk membuat keputusan-keputusan yang masuk akal mengenai sesuatu  yang dapat ia yakini kebenarannya serta yang akan dilakukan nanti. Seseorang pada suatu saat tertentu akan selalu harus membuat keputusan, oleh karena itu kemampuan berpikir kritis harus dikembangkan, terutama ketika dalam membuat keputusan itu ia sedang berhadapan dengan suatu situasi kritis, terdesak oleh waktu serta apa yang dihadapi itu tidaklah begitu jelas dan rumit. Hal ini biasanya terjadi jika seseorang dihadapkan pada beberapa pilihan keputusan yang mungkin, dan dia harus memilih manakah yang terbaik dari sekian pilihan tersebut. Demikian juga dalam hal berpikir kritis, keputusan yang akan diambil itu haruslah didasarkan pada informasi yang akurat serta pemahaman yang jelas terhadap situasi yang dihadapi. Misalnya dalam membuat suatu keputusan dalam memilih suatu strategi atau suatu teorema dalam matematika untuk membuktikan suatu statemen untuk menghasilkan suatu kesimpulan yang benar, maka hal ini harus didasarkan pada informasi yang diketahui atau yang bersumber dari apa yang dketahui serta sifat-sifat matematika yang relevan dengan masalah yang dihadapi. Sebab, jika keputusan itu tidak didasarkan pada informasi serta asumsi yang benar, maka kesimpulan itu tidak memiliki dasar yang benar. Ada enam unsur dasar yang perlu dipertimbangkan dalam berpikir kritis (Ennis, 1996), disingkat FRISCO, yaitu: fokus , alasan, kesimpulan, situasi, kejelasan dan pemeriksaan secara keseluruhan. Jika keseluruhan unsur ini telah dipertimbangkan secara matang maka orang dapat membuat keputusan yang tepat.
Dalam belajar matematika ataupun menyelesaikan soal matematika yang sulit orang harus fokus, misalnya tentang apa masalahnya, apa yang diketahui, apa yang merupakan inti persoalan sebelum ia memutuskan untuk memilih strategi  atau prosedur yang tepat atau sesuai.  Demikian juga, karena matematika adalah ilmu yang sifatnya deduktif, maka harus ada alasan (reason) yang tepat sebagai dasar sebelum suatu langkah ditempuh. Alasan itu dapat berasal dari informasi yang diketahui ataupun, teorema, sifat dll. Alasan ini digunakan untuk kita bersikap kritis terhadap suatu situasi, misalnya situasi yang disediakan dalam bentuk suatu soal, ataupun suatu situasi yang muncul karena pikiran sendiri yang perlu dikritisi berdasarkan alasan-alasan yang tepat agar kebenaran pemikiran itu mendapat penguatan. Selanjutnya, penarikan kesimpulan yang benar harus didasarkan pada langkah-langkah dari alasan-alasan ke kesimpulan adalah masuk akal atau logis. Kesimpulan dapat melahirkan sesuatu yang baru yang dapat berperan sebagai fokus untuk dipikirkan, sedangkan alasan merupakan dasar bagi suatu proses penarikan kesimpulan. Dalam berpikir kritis, konteks atau situasi perlu diperhitungkan karena hal ini membantu untuk merujuk pada konsep tertentu dan memilih alasan yang tepat. Suasana ulangan, ujian atau test saringan dll merupakan suatu situasi tegang yang dapat memicu seseorang untuk berpikir kritis, dikarenakan waktu yang terbatas dan sifatnya kompetitif. Suatu situasi yang menempatkan seseorang dalam keadaan terdesak akan memicunya untuk berpikir kritis sebelum bertindak membuat suatu keputusan yang tepat. Kejelasan mengenai masalah yang dihadapi amatlah diperlukan sebelum seseorang bersikap kritis, misalnya dalam merespons terhadap suatu statemen yang orang lain kemukakan secara lisan maupun tulisan, demikianpun dalam menyampaikan pendapat untuk ditanggapi oleh orang lain. Jika tidak terdapat kejelasan maka akan sulit untuk membuat suatu kesimpulan dan membuat keputusan yang tepat. Pada
akhirnya, setiap pemikiran yang muncul perlu memperoleh pemeriksaan kembali (check) tentang kebenarannya, sehingga tidak terdapat keraguan dalam membuat kesimpulan ataupun suatu keputusan. Dilihat secara mendalam, unsur-unsur berpikir kritis ini tercermin dalam heuristic   Polya untuk pemecahan masalah.

Berpikir Kreatif
Berpikir kreatif sesungguhnya adalah suatu kemampuan berpikir yang berawal dari adanya kepekaan terhadap situasi yang yang sedang dihadapi, bahwa di dalam situasi itu terlihat atau teridentifikasi adanya masalah yang ingin atau harus diselesaikan. Selanjutnya ada unsur originalitas gagasan yang muncul dalam benak seseorang terkait dengan apa yang teridentifikasi. Hasil yang dimunculkan dari berpikir kreatif itu sesungguhnya merupakan suatu yang baru bagi yang bersangkutan serta merupakan sesuatu yang berbeda dari yang biasanya dia lakukan. Untuk mencapai hal ini orang harus melakukan sesuatu terhadap permasalahan yang dihadapi, dan tidak tinggal diam saja menunggu. Dalam keadaan yang ideal, manakala siswa dihadapkan (oleh guru) pada suatu situasi, siswa diminta untuk melakukan suatu observasi, eksplorasi, dengan menggunakan intuisi serta pengalaman belajar yang mereka miliki, dengan hanya sedikit panduan atau tanpa bantuan guru (Sobel, dan Maletsky, 1988). Tetapi pendekatan seperti ini khususnya tidak hanya cocok bagi siswa yang pandai, namun memberikan suatu pengalaman yang diperlukan bagi mereka di kemudian hari dalam melakukan penelitian. Berpikir kreatif juga nampak dalam bentuk kemampuan untuk menemukan hubungan-hubungan yang baru, serta memandang sesuatu dari sudut pandang yang berbeda dari yang biasanya (Evans, 1999). Tentu hal ini dapat dimengerti bahwa dalam kehidupan, orang sering ingin menemukan atau melakukan hal-hal yang baru, karena bosan dengan sesuatu yang sifatnya rutin. Keinginan atau kebiasaan orang seperti ini perlu dipahami, oleh karena itu pengalaman belajar yang sedemikian itu perlu disediakan di sekolah secara sengaja agar mempersiapkan siswa untuk dapat memanfaatkannya pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi atau dalam melaksanakan tugas di tempat pekerjaan. Evans (1991) mengemukakan bahwa berpikir kreatif terdeteksi dalam empat bentuk yaitu : kepekaan (sensitivity), kelancaran (fluency), keluwesan (flexibiliy), dan keaslian (originality). Kepekaan terhadap suatu situasi masalah menyangkut kemampuan mengindentifikasi adanya masalah, mampu membedakan fakta yang tidak relevan dan yang relevan dengan masalah, termasuk konsep-konsep yang relevan. Kepekaan ini termasuk juga apa yang dirasakan seseorang sehubungan dengan masalah yang diidentifikasi, misalnya konsep yang terkait, strategi yang sesuai untuk menyelesaikan masalah itu.
Kepekaan ini akan muncul lebih jelas jika ada semacam rangsangan yang disediakan dalam masalah atau cue serta tantangan yang diberikan oleh guru. Kepekaan ini lalu memicu individu untuk meneruskan upayanya untuk melakukan kegiatan observasi, explorasi sehingga dapat muncul gagasan- gagasan. Kepekaan juga menyangkut apa yang dipikirkan atau digagas orang lain (Mason, Burton, Stacey, 1985) sehingga memicu individu untuk memunculkan ide atau gagasannya. Kelancaran dalam memunculkan gagasan atau pertanyaan yang beragam serta menjawabnya, ataupun merencanakan dan menggunakan berbagai strategi penyelesaian pada saat menghadapi masalah yang rumit serta kebuntuan. Dalam situasi seperti ini dimana tersedia berbagai kemungkinan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi, kelenturan dalam memilih dan menggunakan strategi yang lain, sering harus muncul. Artinya, ketika tertumbuk pada kebuntuan, seseorang tidak segan dan memutuskan untuk mengganti strateginya dengan strategi yang lain. Kelenturan dapat dipandang juga sebagai suatu variasi yang sesungguhnya menunjukkan kekayaan ide atau alternatif dan usaha dari yang bersangkutan dalam membangun gagasan menuju pada solusi yang diharapkannya. Kadang-kadang ia ingin memperoleh solusi cara yang singkat atau praktis informal, tetapi juga ia dapat menginginkan cara yang formal. Keaslian atau originalitas dipandang sebagai munculnya gagasan dari yang bersangkutan tanpa memperoleh bantuan dari orang lain.
Keaslian ini muncul dalam berbagai bentuk, dari yang sederhana atau yang informal untuk kemudian dapat dikembangkan menjadi lebih lengkap. Originalitas dalam hal ini adalah relatif. Karena bagi yang bersangkutan hal tersebut adalah sesuatu yang original (baru bagi dirinya), namun untuk orang lain tidaklah sesuatu yang baru.
Berkaitan dengan kepekaan, keaslian, kelenturan serta kelancaran dalam proses berpikir yang melahirkan gagasan (kreatif) dipandang perlu adanya suatu tindakan lanjut untuk membenahi serta menata dengan baik atau teratur dan rinci apa yang telah dihasilkan. Hal ini perlu dilaksanakan agar individu tidak kehilangan momentum dalam suasana belajar, terutama sebelum ia sempat lupa akan ide-ide yang bagus yang muncul. Penantaan yang teratur dan rinci ini membuka kesempatan padanya untuk sewaktu-waktu dapat mengulangi atau membaca serta mengkaji kembali apa yang ia hasilkan.
Hubungan antara berpikir kritis dan berpikir kreatif Aktifitas berpikir kritis dan berpikir kreatif merupakan kemampuan yang diperlukan ketika seseorang sedang berada dalam keadaan kritis dimana ia sedang berusaha memecahkan suatu masalah yang rumit dan memerlukan cara-cara penyelesaian yang tidak seperti biasanya. Kedua kemampuan berpikir ini akan saling menunjang satu dengan yang lainnya. Misalnya, ketika seseorang sedang berpikir kreatif untuk menghasilkan gagasan dalam upaya penyelesaian suatu soal matematika, dari pengamatan dan eksplorasi yang ia lakukan serta mengkaitkan situasi yang dihadapinya dengan pengetahuan matematika yang ia miliki, maka ia juga harus kritis dalam memilih strategi serta mengontrol pemikirannya, apa yang ia dapat lakukan ataupun yang telah ia lakukan. Dalam hal ini, proses metakognitifnya harus diberdayakan, yaitu memonitor, mengontrol serta membuat keputusan yang tepat. Dan ini sesungguhnya adalah apa yang dikemukakan oleh Tang dan Ginsburg (NCTM, 1999) kemampuan metakognitif, yaitu “seseorang yang berpikir mengenai pikirannya sendiri”. Dalam hal ini ia harus berani mengambil resiko serta bertanggung jawab terhadap pilihan atau keputusannya. Ia belajar untuk tidak ragu membuat keputusan. Secara umum dapat dikatakan bahwa berpikir kritis dan kreatif saling menunjang dalam upaya seseorang menyelesaikan suatu masalah.
Memberdayakan kemampuan berpikir kritis dan kreatif Situasi pemecahan masalah merupakan tantangan dan saat kritis bagi siswa dalam upaya mencari solusi. Polya menyarankan heuristic, dimana pada heuristic yang terakhir, looking back (Polya 1975) hanya menguji jawab dan menggunakan hasil yang diperoleh untuk menyelesaikan soal lain. Tentu dalam mencari solusi, siswa sudah harus berpikir kritis dan kreatif. Namun, jika mereka berhenti ketika jawaban ditemukan, maka mereka kehilangan saat yang berharga dalam proses belajar yang sedang mereka jalani. Dengan kerja keras mereka membangun rancangan serta memilih   beragam strategi untuk menyelesaikan soal. Oleh karena pada saat menyelesaikan soal itu mereka sedang termotivasi kemudian senang dengan hasil yang dicapai, maka rasa senang dan termotivasi ini harus tetap dipertahankan, dengan memberikan tugas baru kepada siswa, yaitu : “Menyelesaikan soal itu dengan cara yang lain”, “Mengajukan pertanyaan ... bagaimana jika”, “Apa yang salah”, dan “Apa yang akan kamu lakukan”( Krulik dan Rudnick , 1999).
  1. Menyelesaikan masalah dengan cara yang lain, sesungguhnya dimungkinkan, karena guru dengan sengaja atau tidak sengaja sudah memilih soal yang penyelesaiannya dapat diperoleh dengan berbagai cara (strategi), ataupun beragam jawaban. Selain itu, hal ini amat direkomendasikan, dikarenakan konsep-konsep di dalam matematika saling terkait, dan kemampuan koneksi matematika siswa juga perlu mendapat kesempatan untuk dikembangkan. Hal ini mencerminkan juga kekayaan matematika, dan dapat diharapkan menimbulkan kekaguman atau apresiasi siswa (disposisi) terhadap matematika. Tuntutan bagi siswa untuk menyelesaikan soal itu dengan cara lain, sesungguhnya menuntut dan melatih siswa untuk berpikir kreatif serta memberdayakan pengetahuan serta pengalaman yang ada pada mereka.
  2. Mengajukan pertanyaan “...bagaimana jika” sesungguhnya memberi peluang untuk siswa kreatif dalam menciptakan soal-soal baru dengan mengacu pada soal yang tadi diselesaikannya. Misalnya, informasi pada soal semula diganti, ditambah atau dikurangi.  Soal ini juga dapat merupakan  tantangan  baru  bagi  siswa dan  mereka  harus menganalisisnya. Disini mereka selain kreatif, mereka juga akan kritis, untuk memastikan apakah informasi yang dikurangi atau ditambahkan itu dapat mempengaruhi terdapat tidaknya solusi, atau malahan akan memunculkan soal-soal yang benar-benar baru atau bersifat tidak rutin.
  3. “Apa yang salah” merupakan pertanyaan yang memberi peluang untuk siswa menggunakan kemampuan berpikir kritis, misalnya menemukan kesalahan, ketika kepada mereka disajikan suatu situasi konflik, ataupun solusi yang mengandung kesalahan apakah secara konsep atau perhitungan. Tugas siswa adalah untuk menemukan kesalahan itu serta memperbaikinya, dan kemudian menjelaskan apa yang salah , mengapa salah.
  4. “Apa yang akan kamu lakukan” termasuk suatu pertanyaan yang menstimulasi berpikir kreatif. Karena disini aspek tantangannya kuat sekali. Siswa diminta untuk membuat suatu keputusan, yang didasarkan pada ide individu ataupun pada pengalaman individu. Siswa harus menganalisis situasi kemudian membuat keputusan. Siswa dapat diminta untuk, dalam satu alinea mengungkapkan secara tertulis apa yang dipikirkannya.
Contoh: 1. Andi dan Lian diberikan tugas dari guru untuk membaca buku. Andi membaca 16 halaman dalam satu jam, dan Lian dapat membaca 12 halaman dalam satu jam. Jika mereka membaca dan berhenti, dan Andi mulai membaca pada jam 13.00, sedangkan Lian mulai jam 12.00, pada jam berapa mereka sama sama menghabiskan halaman bacaan yang sama banyaknya.

Jawab:

Dengan memperhatikan table ini, jelaslah mereka akan sama-sama membaca jumlah halaman yang sama pada pukul 16.00.

A. Cara lain:
Situasi pada soal ini dapat disajikan dengan cara lain. Misalnya dengan menyusun tabel yang memuat informasi yang tersedia pada soal, sbb:

Dari table ini ternyata bahwa pada jam 16.00 Andi dan Lian telah membaca jumlah halaman yang sama .

Cara lain:
Soal ini dapat diungkapkan dalam bentuk pertanyaan lain, misalnya:

Setelah berapa jam membaca, Andi akan menghabiskan jumlah
halaman yang sama dengan yang dibaca oleh Lian?.

Misalkan setelah x jam, Andi membaca sejumlah halaman yang sama
dengan yang dibaca Lian. Tetapi Lian akan membaca selama (x+1) jam.
Dalam 1 jam Andi membaca 16 halaman, dan Lian 12 halaman.
Dengan demikian, terjadi hubungan berikut:

x . 16 = ( x + 1 ). 12
16 x = 12 x + 12
 4x   = 12
 x   = 3.

Jadi mereka menghabiskan halaman yang sama banyak setelah Andi membaca 3 jam, dan Lian membaca 4 jam. Hal itu terjadi pada pukul 16.00.

Catatan: Tentu dalam penyelesaian soal ini, orang yang memahami konsep Kelipatan Persekutuan Terkecil (KPK) dapat saja menggunakan konsep tersebut untuk menjawab soal ini. KPK dari 12 dan 16 adalah 48. Jadi Andi akan memerlukan 3 jam dan Lian memerlukan 4 jam. Sehingga 48 halaman
akan selesai dibaca oleh mereka pada jam 16.00, yaitu 4 jam sesudah Lian mulai membaca pada jam 12.00, yaitu pada jam 16.00 Atau 3 jam setelah Andi membaca yaitu 3 jam setelah jam 13.00, adalah jam 16.00.

B. Bagaimana jika ....

Contoh 2.
Dari soal pada contoh 1 tadi, situasi ini dapat diubah, dengan mengajukan
pertanyaan “bagaimana jika...?”, misalnya:

Contoh 2.1.

Contoh 2.2. Tentukan jumlah semua koefisien jika (x + y )41 diekspansikan.
Untuk menjawab soal ini orang dapat menggunakan berbagai strategi, misalnya dengan menggunakan bantuan segitiga Pascal, sehingga dapat disimpulkan bahwa jumlah semua koefisien dari bentuk (x + y)41 adalah 241.Ataupun menggunakan strategi menyederhanakan masalah, dengan
memeriksa jumlah koefisien pada (x + y), (x + y)2, (x + y )3, dst.
Selanjutnya, setelah jawaban terhadap pertanyaan tadi ditemukan, disajikan pertanyaan atau masalah, baru misalnya, berapa jumlah semua koefisien dari (x + y + z)41, atau berapa jumlah koefisien dari    ( x + 2 y)41?
Pertanyaan ‘bagaimana jika’, sesungguhnya menghadirkan tantangan baru bagi siswa untuk kreatif, kritis, serta dapat menemukan suatu generalisasi, yan awalnya merupakan suatu konjektur, tetapi selanjutnya suatu statemen yang benar dan dapat dibuktikan. Misalnya siswa dapat bertanya masih ia
dapat menggunakan segitiga paskal, atau mencari, menemukan lalu menggunakan suatu strategi baru, misalnya penggunaan sifat distributif pada perkalian, yang dilakukan berulang-ulang.

Misalnya:
 
Dengan mengamati pola ini, dapat dibuat suatu kesimpulan tentang jumlah koefisien dari (x + y + z ) n, jika diekspansikan. Sesungguhnya, hal menarik lainnya masih dapat dikembangkan setelah diperoleh jawaban dari soal-soal yang dikemukakan terlebih dahulu adalah mengajukan pertanyaan, “bagaimana jika’. Misalnya, kita temukanlah jumlah koefisien dari (x – y)41, atau ( x - y)40 jika kedua bentuk ini diekspansikan? Diharapkan dari soal-soal ini dapat terlihat suatu pola jawaban yang umum yang ada kaitannya dengan soal semula. Masih banyak pertanyaan ‘bagaimana jika ...’ yang lainnya yang dapat dikemukakan, dan ini amat bergantung dari antusiasme siswa setelah berhasil menemukan jawaban. Dengan menghadirkan pertanyaan-pertanyaan ‘Bagaimana jika . . . ’ guru dengan mudah dapat menggantikan kegiatan-kegiatan siswa menyelesaikan soal-soal rutin, dan menyajikan kegiatan-kegiatan   yang memberikan kesempatan bagi siswa untuk mengasah kemampuan berpikir kreatifnya.

C. Apa yang salah
Contoh 3.1.


Dengan caranya, atau algoritmanya sendiri ia akan mengklaim bahwa 12/23 = 1/3 adalah benar. Jelaskan apa yang salah dengan alasannya, dan mengapa salah, apa yang harus dilakukan untuk mengoreksi kesalahan itu.

Jawab siswa 1.
Memperoleh jawaban ¼ sebagai bentuk sederhana dari 16/64 dengan cara menghapuskan (mengeliminasi) pada pembilang dan penyebut sesungguhnya adalah suatu kesalahan konsep. Sebab 16 tidak sama dengan (baca satu kali enam). Pada 16 dan 64, 6 bukanlah faktor. Soal ini dapat diselesaikan dengan benar, jika 16/64 ditulis sebagai 1.(16)/ 4.(16) . Bentuk ini disederhanakan dengan membagi pembilang dan penyebut dengan 16, sehingga diperoleh ¼.

Jawab siswa 2.

16/64 = 2.8/2.32 = 8/32 = 4/16 = ¼.
Jadi, untuk mengoreksi akan kesalahan yang dibuat , maka proses penyederhanaan suatu pecahan harus dilakukan dengan membagi pembilang dan penyebut dari pecahan itu dengan bilangan yang sama, dan tidak sama dengan nol, sampai diperoleh suatu pecahan yang tidak bisa disederhanakan lagi. Akan lebih baik, jika setelah siswa menjawab 16/64 = ¼ dengan cara mengeliminasi 6 pada pembilang dan penyebut, hendaknya ia tidak berhenti sampai di situ saja. Seandainya siswa telah mengetahui tentang perananan pertanyaan “bagaimana jika?”, maka setelah 16/64 = ¼ ia dapat
memperhatikan bentuk: 61/64. Jika ia konsisten dengan caranya tadi, maka ia akan mendapatkan bahwa 61/64 = ¼. Diharapkan hasil ini akan menarik perhatiannya, sehingga sudah cukup membuatnya untuk mulai waspada.
Selanjutnya, ia dapat “digiring” untuk menuliskan suatu hubungan dari apa yang ia hasilkan, yaitu :
16/64 = 61/64 = ¼. Timbul konflik baru, yaitu 16/64 = 61/64. Penyebut-penyebut dari kedua pecahan ini sama, tetapi pembilang-pembilangnya berbeda, lalu mengapa hasilnya (kedua pecahan itu) bisa sama? Langkah ini membuat siswa memperoleh kesempatan untuk berpikir kritis, karena ia mulai
menggunakan penalarannya, sehingga pemahamannya mengenai cara menyederhanakan pecahan menjadi lebih jelas. Perhatikan bahwa, keputusan untuk memperhatikan 61/64 dapat dipandang sebagai suatu pemikiran yang kreatif dalam menguji kebenaran jawaban yang ditemukan dalam penyelesaian suatu soal. Dalam hal ini, proses belajar tidak terhenti hanya karena telah ditemukan suatu jawab.

Contoh 3.2.


Siswa mulai menyadari adanya suatu konflik, atau suatu yang sangat janggal ketika ia mengamati lima baris terakhir. Tentu harus ada kesalahan pada baris-baris sebelumnya. Dengan adanya tanda garis (coretan) pada baris ke 6 dari bawah uraian ini, ia dapat menebak kemungkinan dimana awalnya kesalahan tersebut. Sebab baris-baris sebelumnya tidak memuat kesalahan apapun. Ia juga dapat mengobservasi adanya ketidak konsistenan antara baris pertama dan baris ketiga dari akhir, yaitu       a = b, dan 2a = b), demikian juga baris pertama dengan baris ke empat dan kelima dari akhir. Terlihat bahwa a = b, tetapi a + b = b. Ini artinya a = 0, dan kalau a = 0, maka b = 0, karena a = b. Jika ia jeli maka ia dapat melihat bahwa baris ketiga sesungguhnya merupakan suatu bentuk 0 = 0.

D. Apa yang akan kamu lakukan
 Ini merupakan suatu langkah perluasan dari aktifitas belajar pasca ditemukannya penyelesaian suatu soal. Pertanyaan ini dirancang untuk merangsang berpikir kreatif sekaligus kritis. Siswa diminta untuk membuat suatu pilihan yang didasarkan pada pikiran serta pengalamannya. Siswa harus memberi kejelasan konsep atau sifat matematika apakah yang ia gunakan dalam membuat keputusan sehubungan dengan soal yang dihadapi.

Contoh 4.
Di suatu toko dilaksanakan suatu obral. Aturan yang berlaku adalah ada pemotongan harga 10 % dan dilanjutkan dengan dikenakan pajak pembelian sebesar 15% terhadap tiap barang yang dijual. Ani membeli suatu kalkulator yang dijual seharga Rp. 200.000,00 Jika ia mendapat potongan harga 10 % dan membayar pajak pembelian, berapa dana yang Ani harus keluarkan untuk membeli kalkulator itu?

Jawab Siswa.
Potongan 10% berarti Rp 200.000,00 – 10% x Rp.200.000,0 = Rp. 200.000,00 - Rp. 20.000,00 = Rp. 180.000,00. Selanjutnya ia harus membayar pajak 15%, jadi yang harus dibayar adalah Rp.180.000,00 + 15%xR.180.000,00 = Rp. 180.000,00 + Rp.27.000,00 = Rp. 207.000,00.

Jika selanjutnya, disampaikan kepada calon pembeli bahwa pada saat mereka membeli suatu barang, mereka akan membayar barang sekaligus pajaknya 15%, selanjutnya dikenakan potongan 10 % terhadap harga pembelian. Kemudian siswa diminta untuk membuat pilihan dari dua alternatif
penjualan ini, apakah jika ia sebagai pembeli akankah memilih cara pertama tadi atau cara pembelian kedua. Alternatif penjualan kedua ini menyajikan suatu tantangan pada siswa untuk berpikir secara kreatif atau pun kritis untuk menjamin ia dalam membuat keputusan yang benar tanpa ragu. Dalam hal ini siswa diminta untuk mengungkapkan pilihan mereka yang didasarkan pada perhitungan matematika, serta sifat matematika apa yang menjadi andalan mereka untuk membuat keputusan. Keputusan ini diharapkan dibuat berdasarkan uraian terhadap masalah ini secara tertulis.

Penutup
Keseharian kegiatan atau rutinitas seorang guru dengan begitu banyak tugas, sering digunakan sebagai alasan mengapa guru tidak beranjak dari kebiasaan mengajarnya. Apalagi jika guru senantiasa merasa aman bahwa muridnya telah disiapkan untuk menghadapi ulangan atau ujian kenaikan kelas atau ujian akhir. Tetapi untuk tujuan meningkatkan kemampuan matematika siswa secara optimal, maka syarat yang perlu yaitu kemampuan berpikir kreatif dan kritis sesungguhnya amatlah diperlukan, sehingga siswa menjadi produktif dan menjadi siswa yang independen.
Contoh-contoh yang dikemukakan pada uraian di depan sekalipun sederhana, namun dapat mengubah suatu kebiasaan yang rutin di kelas menjadi suatu kegiatan belajar mengajar menjadi pelajaran yang bernuansa kritis dan kreatif. Idealnya untuk tujuan ini guru perlu menghadirkan situasi-situasi pemecahan masalah yang yang memberikan peluang untuk munculnya ketrampilan berpikir kritis dan kreatif pada diri siswa. Tetapi guru atau siswa dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti pada
contoh tadi pada setiap soal yang berpotensi untuk memunculkan berpikir kritis dan kreatif.  Dengan kata lain, guru harus kreatif, dan  mau menyiapkan dan memunculkan soal-soal tantangan lebih dari sekedar soal-soal yang disiapkan dalam buku pelajaran. Guru sendiri pun perlu yakin akan pentingnya ketrampilan berpikir kritis dan kreatif ini.
Sesungguhnya aktivitas pembelajaran yang menuntut sikap kritis dan kreatif adalah suatu yang esensial yang harus dilakukan siswa dangan bantuan guru, sekalipun hal ini tidak mudah namun perlu dicoba dan dilaksanakan. Idealnya disediakan session khusus dalam mata pelajaran matematika untuk kepentingan atau tujuan meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif, sebab siswa dan guru akan terbiasa, terlatih dan akan lebih siap. Aktivitas –aktivitas yang disediakan untuk meningkatkan
kemampuan berpikir kritis dan kreatif ini hendaknya dihadirkan bukan hanya pada saat pembelajaran matematika yang dilaksanakan dengan pendekatan khusus, tetapi juga dalam  pendekatan yang sifatnya tradisional atau konvensional yang umumnya digunakan guru di kelas.
Memang untuk mencapai hasil belajar matematika yang baik, yang harus dilakukan siswa dan guru adalah secara konsisten bekerja keras dan serius yang menjamin tersedianya peluang bagi siswa berpikir kritis dan kreatif kualitas pembelajaran serta hasil belajar.

Daftar Bacaan

Ennis, R.H. (1996). Critical Thinking. Prentice Hall New York.

Evans, J.R. Creative Thinking . United State of America : Prentice Hall, Inc.

Tang. E.P dan Ginsburg, H.P (1999). Young Children’s Mathematical
Reasoning, A Psychological View. Dalam Developing Mathematical
Reasoning in Grade K-12. Stiff. L.V dan Curcio FR. Ed. 1999
Yearbook NCTM, Reston, Virginia

Krulik, S. dan Rudnick J.A. Innovative Tasks to Improve Critical and Creative-
Thinking Skills. . Dalam Developing Mathematical Reasoning in
Grade K-12. Stiff. L.V dan Curcio FR. Ed. 1999 Yearbook NCTM,
Reston, Virginia

Mason,J. (2002). Researching your own Practice; The discipline of Noticing.
Routlege Falmer, New York

Mason,J., Burton,L., Stacey K. (1985). Thinking Mathematically. Addison
Wesley Publishing Company, New York.

NCTM (2000). Principles and Standards for School Mathematics. NCTM,
Reston, Virginia.

Polya, G. (1975). How to Solve it. Princeton.New Jersey.

Sobel, M.A, dan Maletsky,E.M. (1988). Teaching Mathematics, A
Sourcebook of Aids, Activities, and Strategies. Prentice Hall, New
Jersey.














































3 komentar:

  1. Berpikir sebelum bertindak, kadang manusia melakukan suatu tindakan sebelum berpikir. makanya kadang dia menyesal atas perbuatannyat. terima kasih bro atas artikelnya. mantap. ..........

    BalasHapus
  2. oke bro, jam begini masih kerja juga bro, wah kamu kaya robot aja.

    BalasHapus